CELANA, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
CELANA, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
1996
CELANA, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
1996
DI BAWAH KIBARAN SARUNG
Di bawah kibaran
sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.
“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.
Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.
“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.
Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.
Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.
Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
1999
BERTELUR
Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.
Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.
Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku!
2001
PACAR KECILKU
untuk Anggra
Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.
Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.
Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.
2001
TELEPON GENGGAM
Di pesta
pernikahan temannya ia berkenalan
dengan perempuan
yang kebetulan menghampirinya.
Mata mengincar
mata, merangkum ruang.
Rasanya kita
pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya?
Mata: kristal waktu yang tembus pandang.
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
bertukar nama dan
nomor, menyimpannya
ke telepon
genggam, lalu saling janji: Nanti kontak
saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
sakit jiwa. Jas
yang seharusnya dilepas malah dirapikan.
Celana yang
seharusnya dicopot malah dikencangkan.
Ingin ke kamar
tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh di
mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking lagu
di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing rindu
yang perlahan tapi pasti
meleburkan diri ke
dalam telepon genggamnya,
menjadi sistem
sepi yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
antara toilet dan
ruang tamu, menunggu kabar
dari seberang,
sambil tetap digenggamnya
benda mungil yang
sangat disayang: surga kecil
yang tak ingin ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya
tulalit yang
membuat sakitnya makin berdenyit.
Sesekali
tersambung juga, namun setiap ia bilang halo
jawabnya selalu Halo
halo Bandung. Ia pukulkan
telepon genggamnya
ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang: tidur
barangkali akan membuatnya
sedikit tenang. Ia
terbaring terlentang, masih dengan
kaos kaki dan jas
yang dipakainya ke pesta, dan
telepon genggam
tak pernah lepas dari cengkeram.
Telepon genggam:
surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan
perempuan itu mengucap salam:
Tidurlah sayang,
sudah malam. Kau tak akan pernah
kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang
yang tak ia kenal:
Gile, tidur aja pake jas segala.
Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan
dan tak pernah ada
balasan. Hanya sekali ia terima pesan,
itu pun cuma
iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah
undian mobil
kodok. Segera kirimkan foto Anda
untuk dicocokkan
dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa,
telepon genggamnya
tiba-tiba berbunyi nyaring.
Ia tempelkan benda
ajaib itu ke telinganya dan ia dengar
suara burung
berkicau tak henti-hentinya. Suara burung
yang dulu sering
ia dengar dari rerimbun pohon sawo
di halaman
rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun,
terdengar suara
peronda meninggalkan gardu.
Ia ingin tidur
saja karena merasa
tak ada lagi yang
mesti ditunggu.
Ketika untuk
terakhir kali ia mencoba menghubungi
nomor perempuan
itu, ia terkesiap takjub melihat
layar telepon
genggamnya memancarkan gambar
gerimis mengguyur
senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi
yang ia tahu tak
pernah pasti. Emangnya gue pikirin?
Ia pura-pura tak
acuh, padahal sangat butuh.
Ia betulkan
jasnya, genggam erat surga kecilnya.
Lalu terpejam,
terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya
yang ingin tetap
tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya,
telepon genggamnya tiba-tiba memanggil.
Ia dengar suara
anak kecil menangis tak putus-putusnya.
Nyaring, lengking,
lebih lengking dari hening.
Namun ia terpejam
saja, terpejam sebisanya,
sementara telepon
genggamnya meronta-ronta
dalam
cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak
lelaki kecil pulang dari main layang-layang
di padang lapang
dan mendapatkan rumahnya sudah
kosong dan
lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau
bersahutan di rerindang ranting dan dahan.
Hanya ada seorang
anak perempuan kecil,
dengan raut rindu
dan binar bisu, sedang risau menunggu.
Seperti saudara
kembar yang ingin benar memeluknya
dalam haru,
mengajaknya bermain di bawah pohon sawo:
pohon hayat yang
tak terlihat waktu.
2002/2003
KEPADA PUISI
Kau adalah mata,
aku airmatamu.
2003
KEKASIHKU
untuk Efaen
Pacar kecil duduk manis di jendela,
menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu
yang cantik dan capek setelah seharian dikerjain kerja.
Ia bersiul ke senja seksi yang tinggal
tampak kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku.
Esok pagi kau tentu akan datang dengan rambut baru.
Kupetik pipinya yang ranum,
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.
2003
PACAR SENJA
Senja mengajak
pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.
2003
KEPADA CIUM
seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,
seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,
malam ini aku mau minum di bibirmu.
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,
seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.
2006
Pustaka:
1.
Kumpulan
Puisi “Telepon Genggam”, 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
2.
Kumpulan
Puisi “Kekasihku”, 2004. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
3.
Seratus Puisi Pilihan “Pacar Senja”, 2005.
Jakarta: Grasindo
4.
Antologi
“Kepada Cium”, 2006. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama