Monday, December 10, 2012

Mantera Menangkap Buaya


Hai Si Jambu Rakat, sambut pekiriman
Puteri Runduk di gunung Ledang
Ambacang masak sebiji bulat
Penyikat tujuh penyikat
Pengarang tujuh pengarang
Diorak dikumbang jangan
Lulur lau ditelan
Kalau tidak kau sambur
Dua hari jangan ketiga
Mati mampek mati mawai
Mati tersadai penangkalan tambang
Kalau ku sambut
Ke darat kau dapat makan
Ke laut kau dapat minum
Aku tahu asal kau jadi
Tulang buku tebu asal kau jadi
Darahkau gula dadaku upih
Gigikau tunjang tunjang berembang
Ridapkau cucuran atap

(Sultan Takdir Alisyahbana. 1954. Dalam Suroto. 1989. “Apresiasi Sastra Indonesia”. Jakarta:  Erlangga)

Saturday, December 8, 2012

Mantera Pengusir Hantu



Assalamualaikum anak cucu hantu pemburu
Yang diam di rimba sekampung
Yang duduk di ceruh banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuai di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
Yang diam di Pagaruyung
Rumah bertiang terus jelatang
Rumah berbendul bayang-bayang
Bertaburkan batang purut-purut
Yang berbulu roma sungsang
Yang menaruh jala lalat
Yang bergendang kulit tuma
Janganlah engkau mungkir setia padaku
Mati ditimpa malaikat yang empat puluh empat
Mati ditimpa tiang Ka’bah
Mati disula besi Kawi
Mati dipanah halilintar
Mati disambar kilat senja
Mati ditimpa Qur’an tiga puluh juz
Mati ditimpa kalimah

(Hooykaas. 1952. Sastra Melayu Lintas Daerah. Pusat Bahasa Depdiknas, 2004)

Thursday, December 6, 2012

Puisi Joko Pinurbo


CELANA, 1

Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)



CELANA, 2

Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.

Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.

Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.

Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.

1996



CELANA, 3

Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.

Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.

Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”

Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.

1996



DI BAWAH KIBARAN SARUNG

Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.

“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.

Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.

1999



BERTELUR

Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.

Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.

Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.

Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.

Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.

Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.

Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku!

2001



PACAR KECILKU
untuk Anggra

Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.

Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.

2001



TELEPON GENGGAM

Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan
dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya.
Mata mengincar mata, merangkum ruang.
Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya?
 Mata: kristal waktu yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
bertukar nama dan nomor, menyimpannya
ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak
saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan.
Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan.
Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti
meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya,
menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar
dari seberang, sambil tetap digenggamnya
benda mungil yang sangat disayang: surga kecil
 yang tak ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya
tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit.
Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo
jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan
telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya
sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan
kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan
telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram.
Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan perempuan itu mengucap salam:
Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah
kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang
yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala.
Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan
dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan,
itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah
undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda
untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa,
telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring.
Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar
suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung
yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo
di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun,
terdengar suara peronda meninggalkan gardu.
Ia ingin tidur saja karena merasa
tak ada lagi yang mesti ditunggu.
Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi
nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat
layar telepon genggamnya memancarkan gambar
gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi
yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin?
Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh.
Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya.
Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya
yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil.
Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya.
Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening.
Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya,
sementara telepon genggamnya meronta-ronta
dalam cengkeramannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang
di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah
kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan.
Hanya ada seorang anak perempuan kecil,
dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu.
Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya
dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo:
pohon hayat yang tak terlihat waktu.

2002/2003



KEPADA PUISI

Kau adalah mata, aku airmatamu.

2003



KEKASIHKU
untuk Efaen

Pacar kecil duduk manis di jendela,
menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu
yang cantik dan capek setelah seharian dikerjain kerja.

Ia bersiul ke senja seksi yang tinggal
tampak kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku.
Esok pagi kau tentu akan datang dengan rambut baru.

Kupetik pipinya yang ranum,
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.

2003



PACAR SENJA

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.

Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”

Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.

Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”

Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.

2003



KEPADA CIUM

seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.

Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.

2006

 
Pustaka:
1.       Kumpulan Puisi “Telepon Genggam”, 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
2.      Kumpulan Puisi “Kekasihku”, 2004. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
3.       Seratus Puisi Pilihan “Pacar Senja”, 2005. Jakarta: Grasindo
4.      Antologi “Kepada Cium”, 2006. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Search