Friday, January 11, 2013

Puisi D. Zawawi Imron


IBU

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966


MADURA, AKULAH DARAHMU

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu

Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
-madura, akulah darahmu.

1966


PEMANDANGAN

Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,
            awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana
            Tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?

1978


PERJALANAN LAUT

dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam kelopak.
            hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati putik milik pertapa?
            bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka cantik yang berisikan bom waktu.
            ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal meniru 
            teriak gagak.
            lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpencalang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut

1978


DENGAN ENGKAU

kusambut anginmu setelah berhasil melacak jiwaku yang penasaran di
            terjal bukit-bukit batu.
sementara mawar mengeringkan embun, matahari yang bengis tak
            kuasa menyadap cintamu.
hanya aku yang bisu, tegak tapi agak ragu pada harum jejakmu.
dan kalau langitbermendung di ujung kemarau, tangis pun lagu
keimanan,
senyummu membias di linang hatiku.

1979


DI BUKIT WAHYU

Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu
manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga.
Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur,
waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-
yat, mengeja-eja desir darahku. Ada selubung lepas dariku,
angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon
kenanga.

1979


NENEK MOYANGKU AIRMATA

“bisikanlah kepada angin, perihal terompah kayu yang diketemukan di gunung sejarah itu!” kata air bah yang tak sampai menimbulkan banjir. Dahulu di gunung itu terjadi perang antara mentimun melawan durian. Lewat luka mayat-mayat yang bergelimpangan, tersabdalah sebuah firman, lantaran yang menang kekuasaan.

dan kabar yang ramai tersiar, di gunung itu ada bayang-bayang menabur kembang

1979


TONGGAK

Tonggak batas khayal dan kenyataan itu belum juga ditancapkan. Aku menunggu. Tapi siapa yang harus kutunggu? Bintang-bintang hanya memainkan kedipan dan kembang-kembang hanya memberi anjuran agar kubuat jubah sutra buat patung lilinku yang tersimpan dalam kereta mayat yang tak terpakai.
Aku inginkan sunyi, maka berilah aku sunyi yang letih! Topan yang menggulung-gulung khayal dan kenyataan itu belum terantuk kebosanan. Aku inginkan roti, lalu kauberi roti sisa sakramen dalam mimpi para penganggur. Pada gelap yang utuh kulihat sekalias senyum hari esokku. Inikah bahagia itu?

1981


UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara beburung di ujung malam. Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku? Kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas
bukit.
Bergetar pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah kertas tua itu menghampar diri aku berlari di atasnya. Binatang-binatang yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.
Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu berhembus
kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana sejukmu sedang kaubagi

1981


ZIKIR

alif, alif, alif!
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak tak bercagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
                                          terang
                                          hingga aku
                                          berkesiur
                                          pada
                                          angin kecil
                                          takdir-
                                          mu

hompimpah hidupku, hompimpah matiku.
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,, hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif-alif, alif!

alifmu yang satu
tegak di mana-mana

1983


CELURIT EMAS

roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu
mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari
jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam tapi ke-
tika tercium bau tangan
                            yang
                            pura-pura mati dalam terang
                            dan
                            bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di se-
berang. meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya

nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena ce-
lurit itu akan menjadi taring langit, dan mata-
hari akan mengasahnya pada halaman-halaman ki-
tab suci.

celurit itu punya siapa?
amin!

1984


SUNGAI WALANNAE

Apa yang kau bawa
dari hulu selain kebeningan?

Aku merasa
tapi bukan mengerti
Selebihnya
ada yang tersisih
dan mengalir ke dalam mimpi

Warna coklat yang kau hilirkan
seperti hidupku juga
akan mendangkalkan dasar danau
Hingga air di sana tak biru lagi

Sebutir embun
yang jatuh di pusat lubukmu
seperti tak punya arti
Hingga umur
bau apak di ketiak jamur

Berdiri di tepimu
seperti melihat ke dalam hati
bimbang antara pemandangan indah dan ngeri

Daun-daun pohonan di tepian
memejamkan matanya
ketika aku turun dan mandi
Dingin airmu
bagai setia seorang sahabat
menjauhkanku dari karat atau kesumat

O, Walannae!
sehabis mandi
mataairmu kubawa pergi
ke mesjidku dekat muara

Dan saksikanlah
harimau dan bulan berciuman
di puncak bukit hatiku

1987


DIALOG BUKIT KEMBOJA

Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa doa kubur itu

“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

“Lewat berpuluh kemarah
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”

Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

Jauh di lembah membias rasa syukur
pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
Atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah untuk mewakilinya”

“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur  orang terdekat, saat ia wafat
jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”

Sore berangkat ke dalam remang
ke kelepak kelelawar

“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bamboo, jadilah bamboo runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk di depan sembilu!”

Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-dan dan bunga ilalang
Memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah

Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekadar untuk sebuah pilu

1995

0 comments:

Post a Comment

Search