Tuesday, December 4, 2012

Puisi Herwan FR

PELEBURAN LUKA

Telah kuleburkan seluruh luka dalam sembilu
dalam dzikir berpekanjangan. Malam kuhabisi
lewat gairah berpelukan denganmu. Maka
sajadahpun berkobar. Kita seperti berperang
meletuskan keringat yang masih menggenang dalam
tubuh. Langit bergetar, musim mendidih, laut menggolak, daun-daun
rontok menancap bumi, --Saat kita berpelukan
menghamili waktu dengan pendaman-pendaman rindu

Tak bisa kupungkiri bahwa aku jatuh cinta padamu
Maka kupeluk dirimu seyakin-yakinnya dengan isyarat
rimba dan belukar yang kucampurkan dengan rohku
yang kurasakan juga rohmu. Maka keasingan sudah
menjadi cinta saat kita berpelukan.
Menandai warna malam dengan keasingan-keasingan lain
Yang hanya akan termaknai dengan ciuman berabad-abad



OBITUARI

Perkara sesungguhnya adalah:
bagaimana mungkin aku akan menjangkau permeditasianmu?
Getar napasmu telah sampai ke jantungku, rumput dan ilalang
menyentuhkan ujungnya ke dasar benakku. Goa-goa menuntaskan
ricik airnya ke dalam sungsumku. Dan seperti nakoda yang
tengah membereskan layar dengan tali temalinya, selalu kulihat wajahmu
pada cermin yang basah: bayang-bayangmu menjelma firdaus yang hilang

Pertemuan memang terkadang sunyi dan riuh tak menentu.
Seperti kelahiranku pada hari yang tak pernah terduga.
Barangkali hanya seleret isyarat melengkung di antara
garis langit dan pendar cahaya bulan. Seperti inilah;
aku terus menuju dengan bibir yang memucat. Memang,
selalu saja ada yang tak sampai tiba di kornea matamu.
Sesuatu yang begitu cepat menjelma: seperti seekor
kupu-kupu hitam yang melintas tiba-tiba, begitu
melankolis. Lalu dinding yang tak pernah terhapus
tumpuk debunya. “Kita memang telah sama-sama dilahirkan,
meski bukan untuk pertama kalinya dipertemukan.”



CATATAN SEDERHANA

Ada kabar mengenai terali besi yang bengkok. Lalu
foto seseorang di mana-mana. Tapi di sini,
aku hanya merasakan air kran yang menetes lirih dan sunyi.
Sesekali suaranya terhenti seperti lelaki kehabisan gairah.
Aku tak tahu lagi, kapan dan di mana bau kejahatan menyengat.
Tentang sebilah pisau yang tiba-tiba
tersimpan rapi dalam perut, seperti halnya ketika aku lihat
sahabat-sahabat bersorak-sorai menggemakan lirik
pertentangan, seperti sebuah tulisan besar: “Sudah saatnya
kita menghabisi anjing-anjing kota!” Aku lupa semua itu.
Di sini, hanya secangkir teh, mengawali percakapanku dengan
atap kost yang bocor, cat yang belum terganti. Sesekali
melintas juga pertanyaan kapan dan di mana aku bisa kembali
menikmati udang bakar atau rajungan rebus itu. Sesekali
aku rasakan juga mual atau mulas dalam perutku, isyarat
makanan yang teratur gizi-gizinya.
Semua berputar mengelilingi keningku. Meski selalu, tak kulupa: harus
aku kucurkan keringat dan air mata pada sajadah
setiap kali sudah sampai pada batas kesengsaraanku.



PERCAKAPAN HENING

Sebatas apakah engkau pahami pertemuan kita?
Teramat dangkal ketika aku atau engkau harus selalu
jujur menjawabnya. Memang demikian: ada kalanya harus
saling membohongi diri sendiri, mengisi dan menjawab teka-
teki dalam hati dengan ungkapan dan dugaan-dugaan. Tapi
memang siapa yang lebih akrab mengajari kita selain batin
kita sendiri yang terus menerus memendarkan pudar cahaya
warna-warni, ke sela lubang pintu yang sesekali mesti terbuka dan terkunci rapat ini?

Ya. Seperti itulah pertemuan yang memang, terkadang
melahirkan berbagai bentuk penafsiran. Karena itu,
tak perlu panjang lebar engkau risaukan segala yang
tiba-tiba hadir bersebrangan dan bersimpangan. Tak
perlu meneteskan air mata. Tak perlu saling mengucapkan selamat
tinggal. Cukup saling diam. Dan tak akan pernah ada lagi cerita.
Barangkali dari negeri jauh, kita tetap bayangan
yang sewaktu-waktu melintas begitu lesat. Dan wajarlah
kita rapatkan bulu mata sambil menghela napas panjang.
Barangkali kita dengar jelas suara isak tertahan,
sesekali gemeretuk lekuk tubuh. Seperti itulah kelak, selalu
dan
selalu, dihadapkan dua kemungkinan: mengenang atau melupakan.



PROLOG DIRI

Apalah kiranya yang pantas aku ucapkan.
Kealfaan telah membeton seluruh urat syarafku.
Juga sendiriku seperti ini—tak mampu menentramkan
denyut nadi. Barangkali hanya mampu berjanji: menghadap
dan membuka alas kakiku,—mengusap seluruh muka
dengan percikan air itu. Membersihkan kembali
tangan-tanganku,—hatiku akan kukerat hingga terluka—
Kesengsaraan akan kureguk sebagai karunia. Akan
kuperbankan kembali kain pertobatanku pada tubuh
tersayat. Seperti Adam terisak di belantara bumi.
Suaramu membekas dalam gendang telinga—hingga pecah
menjadi serakan-serakan tangis. Selalu kucerminkan
wajahku pada sungaimu. Aku rendamkan pula seluruh
telapak kaki dalam riak yang menjelma hisapan-hisapan
dosa. Di sinilah aku rasakan betapa batu-batu
mendenyutkan darahku, urat-urat leherku, hingga mampu
menggetarkan cekat lidahku. Di sini—di sungaimu ini—
selalu kuingat hanyutan tubuhku setiap kali kucamkan
dalam-dalam perubahan arusnya.



MONOLOG MALAM

Ada kalanya harus menerima
dan mengiklaskan segalanya. Bahkan tak perlu
selalu mendengar ucapan terima kasih sesudah
membantu. Barangkali hanya seperti ini, duduk
dalam kabut yang kian menebal dengan tulang
yang makin meregang. Aku menghayati ketidakdatanganmu.
Aku menyimak apa yang tengah terjadi. Aku tengah
merasakan bagaimana sebuah perasaan usai memberikan
pertolongan. Di sini—dalam kesendirianku; aku
hayati seluruh perlakuan dan kelakuanmu dengan batin
terbasuh embun malam. Di sini—dalam
kefatamorganaan ini aku tengah belajar memohon
maaf dan memaafkan. Adakalanya juga engkau
tak perlu bertanya: mengapa dan untuk apa
aku menolongmu


(Antologi “Peleburan Luka”, 1996. Penerbit UPM IKIP Bandung)



MENEMUI NEGERI LELUHUR

menemui negeri leluhur, negeri yang lapang
bagi segala kesuburan, aku belajar lagi mengenal
deru gelombang, amis ikan, lirik sinden, tari topeng
dan tarling pedalaman. tanganku merentang
menangkap juntaian-juntaian seni tradisi: kembang
pitung* warna, sedekah laut, sedekah bumi, kemenyan
dan dupa, keraton-keraton tua, seribu mantra dan senjata– 

menemui lagi negeri leluhur, negeri sungai dan batu-batu,
aku belajar lagi mencelupkan tungkai kaki ke deras kali.
jiwaku melayang ke permukaan bersama burung-burung,
menyusur sampai ke muara dan kubuka pintu-pintu
samudera, kulayarkan hatiku dengan jelaga, sampai
ke kerak makna.

Serang, 2002

*pitung/pitu = tujuh



SURAT JAUH
                        -azn

seperti kelakar para sufi, kau bicara tentang
kelamin yang bengkak dan tiga ekor lebah menyengat
juga dua batu bercahaya yang pernah dijanjikan
lelaki pengembara. tetapi kubayangkan, segala kata
yang bermula dari rumah bertingkat, kolam-kolam ikan,
deret bonsai, ribuan lukisan, dan sajak-sajak agung
tak bernanah, tak berdarah—

siapa hendak ke rangkasbitung
menemui perempuan lama, bekas kekasih
yang kini barangkali telah jadi pedagang, petani, peternak
atau pelacur di tanah bekas jajahan, di bumi
max havelar pernah bertandang?

seperti kelakar para sufi, kau bicara tentang
kelamin yang bengkak dan tiga ekor lebah menyengat
juga seorang penyair tua yang mati di hari baik*)
tapi sekali lagi kubayangkan, bahwa segala kata
dan suara tak bernanah, tak berdarah. maka kemarilah,
lupakan benda-benda yang hanya pandai mengirimkan
berita. datang dan tengoklah tanah tandus, hutan bakau,
juga rawa-rawa yang mendengungkan ribuan nyamuk
untuk merasakan, betapa hidup—memang tak serenyah
sebuah kelakar.

Serang, 2002

*) teriring doa atas wafatnya penyair Wing Kardjo



KETIKA KAU SAMPAI

selalu perjalanan sampai ke tempat terasing
pikiran dipaksa mengeras urat syaraf meruncing
deret kebimbangan dan seribu pertanyaan: bagaimana
mengatur letak posisi ranjang, halaman rumah sempit,
atau atap bocor, sapu patah, kursi rusak dan segala—
yang selalu saja ada yang luput dari sekadar rasa
sentimental, melankolia, kesunyian-kesunyian yang lahir
dari ritus perjalanan, bumi gersang, rawa-rawa, gerombolan
domba padang savana—

selalu saja pertanyaan itu pun menjadi begitu penting
sewaktu kau pahami sesuatu telah bergegas amat lama
di antara bayang-bayang langkahmu,
di antara sulur-sulur panjang ingatanmu

Serang, 2002

(Majalah Sastra “Horison”, 2002)

0 comments:

Post a Comment

Search