PELEBURAN LUKA
Telah kuleburkan seluruh luka dalam sembilu
dalam dzikir berpekanjangan. Malam kuhabisi
lewat gairah berpelukan denganmu. Maka
sajadahpun berkobar. Kita seperti berperang
meletuskan keringat yang masih menggenang dalam
tubuh. Langit bergetar, musim mendidih, laut menggolak,
daun-daun
rontok menancap bumi, --Saat kita berpelukan
menghamili waktu dengan pendaman-pendaman rindu
Tak bisa kupungkiri bahwa aku jatuh cinta padamu
Maka kupeluk dirimu seyakin-yakinnya dengan isyarat
rimba dan belukar yang kucampurkan dengan rohku
yang kurasakan juga rohmu. Maka keasingan sudah
menjadi cinta saat kita berpelukan.
Menandai warna malam dengan keasingan-keasingan lain
Yang hanya akan termaknai dengan ciuman berabad-abad
OBITUARI
Perkara
sesungguhnya adalah:
bagaimana
mungkin aku akan menjangkau permeditasianmu?
Getar
napasmu telah sampai ke jantungku, rumput dan ilalang
menyentuhkan
ujungnya ke dasar benakku. Goa-goa menuntaskan
ricik airnya
ke dalam sungsumku. Dan seperti nakoda yang
tengah
membereskan layar dengan tali temalinya, selalu kulihat wajahmu
pada cermin
yang basah: bayang-bayangmu menjelma firdaus yang hilang
Pertemuan
memang terkadang sunyi dan riuh tak menentu.
Seperti
kelahiranku pada hari yang tak pernah terduga.
Barangkali hanya
seleret isyarat melengkung di antara
garis langit
dan pendar cahaya bulan. Seperti inilah;
aku terus
menuju dengan bibir yang memucat. Memang,
selalu saja
ada yang tak sampai tiba di kornea matamu.
Sesuatu yang
begitu cepat menjelma: seperti seekor
kupu-kupu
hitam yang melintas tiba-tiba, begitu
melankolis.
Lalu dinding yang tak pernah terhapus
tumpuk
debunya. “Kita memang telah sama-sama dilahirkan,
meski bukan
untuk pertama kalinya dipertemukan.”
CATATAN SEDERHANA
Ada kabar
mengenai terali besi yang bengkok. Lalu
foto
seseorang di mana-mana. Tapi di sini,
aku hanya
merasakan air kran yang menetes lirih dan sunyi.
Sesekali
suaranya terhenti seperti lelaki kehabisan gairah.
Aku tak tahu
lagi, kapan dan di mana bau kejahatan menyengat.
Tentang
sebilah pisau yang tiba-tiba
tersimpan
rapi dalam perut, seperti halnya ketika aku lihat
sahabat-sahabat
bersorak-sorai menggemakan lirik
pertentangan,
seperti sebuah tulisan besar: “Sudah saatnya
kita
menghabisi anjing-anjing kota!” Aku lupa semua itu.
Di sini,
hanya secangkir teh, mengawali percakapanku dengan
atap kost
yang bocor, cat yang belum terganti. Sesekali
melintas
juga pertanyaan kapan dan di mana aku bisa kembali
menikmati
udang bakar atau rajungan rebus itu. Sesekali
aku rasakan
juga mual atau mulas dalam perutku, isyarat
makanan yang
teratur gizi-gizinya.
Semua
berputar mengelilingi keningku. Meski selalu, tak kulupa: harus
aku kucurkan
keringat dan air mata pada sajadah
setiap kali
sudah sampai pada batas kesengsaraanku.
PERCAKAPAN HENING
Sebatas
apakah engkau pahami pertemuan kita?
Teramat
dangkal ketika aku atau engkau harus selalu
jujur
menjawabnya. Memang demikian: ada kalanya harus
saling
membohongi diri sendiri, mengisi dan menjawab teka-
teki dalam
hati dengan ungkapan dan dugaan-dugaan. Tapi
memang siapa
yang lebih akrab mengajari kita selain batin
kita sendiri
yang terus menerus memendarkan pudar cahaya
warna-warni,
ke sela lubang pintu yang sesekali mesti terbuka dan terkunci rapat ini?
Ya. Seperti
itulah pertemuan yang memang, terkadang
melahirkan
berbagai bentuk penafsiran. Karena itu,
tak perlu
panjang lebar engkau risaukan segala yang
tiba-tiba
hadir bersebrangan dan bersimpangan. Tak
perlu
meneteskan air mata. Tak perlu saling mengucapkan selamat
tinggal.
Cukup saling diam. Dan tak akan pernah ada lagi cerita.
Barangkali
dari negeri jauh, kita tetap bayangan
yang
sewaktu-waktu melintas begitu lesat. Dan wajarlah
kita
rapatkan bulu mata sambil menghela napas panjang.
Barangkali
kita dengar jelas suara isak tertahan,
sesekali
gemeretuk lekuk tubuh. Seperti itulah kelak, selalu
dan
selalu,
dihadapkan dua kemungkinan: mengenang atau melupakan.
PROLOG DIRI
Apalah kiranya
yang pantas aku ucapkan.
Kealfaan
telah membeton seluruh urat syarafku.
Juga
sendiriku seperti ini—tak mampu menentramkan
denyut nadi.
Barangkali hanya mampu berjanji: menghadap
dan membuka
alas kakiku,—mengusap seluruh muka
dengan
percikan air itu. Membersihkan kembali
tangan-tanganku,—hatiku
akan kukerat hingga terluka—
Kesengsaraan
akan kureguk sebagai karunia. Akan
kuperbankan
kembali kain pertobatanku pada tubuh
tersayat. Seperti
Adam terisak di belantara bumi.
Suaramu
membekas dalam gendang telinga—hingga pecah
menjadi
serakan-serakan tangis. Selalu kucerminkan
wajahku pada
sungaimu. Aku rendamkan pula seluruh
telapak kaki
dalam riak yang menjelma hisapan-hisapan
dosa. Di
sinilah aku rasakan betapa batu-batu
mendenyutkan
darahku, urat-urat leherku, hingga mampu
menggetarkan
cekat lidahku. Di sini—di sungaimu ini—
selalu
kuingat hanyutan tubuhku setiap kali kucamkan
dalam-dalam
perubahan arusnya.
MONOLOG MALAM
Ada kalanya
harus menerima
dan
mengiklaskan segalanya. Bahkan tak perlu
selalu
mendengar ucapan terima kasih sesudah
membantu.
Barangkali hanya seperti ini, duduk
dalam kabut
yang kian menebal dengan tulang
yang makin
meregang. Aku menghayati ketidakdatanganmu.
Aku menyimak
apa yang tengah terjadi. Aku tengah
merasakan
bagaimana sebuah perasaan usai memberikan
pertolongan.
Di sini—dalam kesendirianku; aku
hayati
seluruh perlakuan dan kelakuanmu dengan batin
terbasuh
embun malam. Di sini—dalam
kefatamorganaan
ini aku tengah belajar memohon
maaf dan
memaafkan. Adakalanya juga engkau
tak perlu
bertanya: mengapa dan untuk apa
aku
menolongmu
(Antologi “Peleburan
Luka”, 1996. Penerbit UPM IKIP Bandung)
MENEMUI
NEGERI LELUHUR
menemui negeri leluhur, negeri yang lapang
bagi segala kesuburan, aku belajar lagi mengenal
deru gelombang, amis ikan, lirik sinden, tari topeng
dan tarling pedalaman. tanganku merentang
menangkap juntaian-juntaian seni tradisi: kembang
pitung* warna, sedekah laut, sedekah bumi, kemenyan
dan dupa, keraton-keraton tua, seribu mantra dan
senjata–
menemui lagi negeri leluhur, negeri sungai dan batu-batu,
aku belajar lagi mencelupkan tungkai kaki ke deras kali.
jiwaku melayang ke permukaan bersama burung-burung,
menyusur sampai ke muara dan kubuka pintu-pintu
samudera, kulayarkan hatiku dengan jelaga, sampai
ke kerak makna.
Serang, 2002
*pitung/pitu = tujuh
SURAT
JAUH
-azn
seperti kelakar para sufi, kau bicara tentang
kelamin yang bengkak dan tiga ekor lebah menyengat
juga dua batu bercahaya yang pernah dijanjikan
lelaki pengembara. tetapi kubayangkan, segala kata
yang bermula dari rumah bertingkat, kolam-kolam ikan,
deret bonsai, ribuan lukisan, dan sajak-sajak agung
tak bernanah, tak berdarah—
siapa hendak ke rangkasbitung
menemui perempuan lama, bekas kekasih
yang kini barangkali telah jadi pedagang, petani, peternak
atau pelacur di tanah bekas jajahan, di bumi
max havelar pernah bertandang?
seperti kelakar para sufi, kau bicara tentang
kelamin yang bengkak dan tiga ekor lebah menyengat
juga seorang penyair tua yang mati di hari baik*)
tapi sekali lagi kubayangkan, bahwa segala kata
dan suara tak bernanah, tak berdarah. maka kemarilah,
lupakan benda-benda yang hanya pandai mengirimkan
berita. datang dan tengoklah tanah tandus, hutan bakau,
juga rawa-rawa yang mendengungkan ribuan nyamuk
untuk merasakan, betapa hidup—memang tak serenyah
sebuah kelakar.
Serang, 2002
*) teriring doa atas wafatnya penyair Wing Kardjo
KETIKA
KAU SAMPAI
selalu perjalanan sampai ke tempat terasing
pikiran dipaksa mengeras urat syaraf meruncing
deret kebimbangan dan seribu pertanyaan: bagaimana
mengatur letak posisi ranjang, halaman rumah sempit,
atau atap bocor, sapu patah, kursi rusak dan segala—
yang selalu saja ada yang luput dari sekadar rasa
sentimental, melankolia, kesunyian-kesunyian yang lahir
dari ritus perjalanan, bumi gersang, rawa-rawa, gerombolan
domba padang savana—
selalu saja pertanyaan itu pun menjadi begitu penting
sewaktu kau pahami sesuatu telah bergegas amat lama
di antara bayang-bayang langkahmu,
di antara sulur-sulur panjang ingatanmu
Serang, 2002
(Majalah Sastra “Horison”, 2002)
0 comments:
Post a Comment