Wednesday, December 5, 2012

Puisi Fridolin Ukur

PERDJUMPAAN

hilang terbenam dukaku lalu
diini perdjumpaan malam kelabu

Tjerita jang kudengar di Efrata
Kudengar lagi diini Golghota

—ajunanmu palungan kaju
usang lampin memalut tubuhmu—
tapi ada api pada matamu
punja arti, punja gerak, punja lagu

selama wajdahmu menjala pada dada
selama apimu membakar dupaku pudja
hidupku tak berhenti dikepanaan bisu
diri tak lagi ketjut tentang dosa dan maut kaku



MARIA

1

Maria
Perawan tumpukan Bahgia
Dara rumpahan Kurnia.

Dalam ribamu engkau memangku Hidup
Sekali pernah engkau menggenggam Waktu!

Pada dadamu Baji menghisab hidup
Dari bibirmu Tuhan mengetjap madu.

Dengan nafasmu kaudewasakan Dia
Dengan darahmu kaubesarkan Dia
Dan nanti dalam Darah-kudus-Nja
Kaudjumpai kekekalan Hidup sentosa

2

Hanja lilin tunggal menjinari tangan dara
Memutih-kasih, membaringkan baji
Antara dinding keras palungan kaju:

Sesobek lampin menutup ketelandjangan nista
Didakapnja tubuh ketjil serapat hati
Dalam raihannja, Maria memeluk Tuhanku

Waktu Maria bertelut-simpuh
Dikehitaman kandang menjamar redup
Sudjud tunduk menjembah tubuh
Baji pemberi Anugerah hidup.

3

Wadjahnja menatap djauh
Bibirnja tersenjum suka
Njanjinja tak bernada keluh
Lagunja tjetusan kegitaan rasa

Ia mesra mendakap Putra
Seerat dada dengan hati
Setiap petang tiba
Ibu melafas doa sutji

Waktu ia tahu mendengar
Lagu jang dinjanjikan Putra
Dalam Darah dan Tubuhnja

Maria tambah sadar:
Jang ia buat dipalungan domba
Tuhannja sendiri Penebus dosa



PENJERAHAN

Keherananku, mengapa
Waktu tedja membentang diketjupan sendja
Antara bibir merekah dan malam menganga
Aku rindu bertjumbu; enggan bertjinta

Bersamaan dengan hilangnja keputjatan sendja
Dibelakangku: tjahaja petang sudah lama mati;
Terasa gumpalan darah membusa dalam dada
Dan hati selalu ingin ingkar djanji

Tapi dalam pergumulan ini
Memberani diri sudjud berharap
Menjerah darah dan hidupku nanti
Biar hanja, Salibmu selalu kutatap



KELARUTAN

membisu pada diri
penjair berkisah seorang
iseng mati sepi

langkah jang satu-satunja terseret
masuki kelarutan malam
antara kabut dan samar kelupaan:

sedjarak tapak
duadua bajangan lintasi kabut
penjair masih sendiri

dikelarutan ini malam
penjair djemu bersadjak
bintang tak djuga mau tersenjum.



DARA MERATAP

bulan laju putjat
merangka malam dan kesunjian
djauh disudut subuh
dara meratap

aku hanja bisa mendengar
ratap dara dikesendirian

kedinginan hati
bintang ketjil mengusap pipi

dara masih djua meratap
ingin merobeksobek
ketentuan tjintasamar



PRODUCT

tjinta

antara mentari putih
dan tanah hitammerah

aku masih djua tak mengerti

hanja product jang njata:
pepohonan, rumput dan bunga.



GADIS PENTJINTA PUISI

kulihat dikedjauhan
gadis manis menariria
gita disuka senjda

tangannja mendjangkau awan
raihan erat memeluk
dalam kesaktian permaian megapetang
ia menari dan menari

lupa siang akan lari

waktu angin malam datang
membawa kisah:
“penjair dikesendirian sunji”
gadis lari
untuk nanti kembali
dikeesokan sendja.

(Kumpulan Sadjak “Malam Sunji”, 1961. Jakarta: Badan Penerbit Kristen)

0 comments:

Post a Comment

Search