KENANGAN
Bertahun-tahun kau
susun kaleng-kaleng karatan itu
di ruang berjelaga
dan lantai kelabu
ketika kecil aku
sering mengambil penganan
yang kau susun di
dalamnya sejak malam
sampai kini,
kaleng-kaleng itu masih ada
masih memberikan
perasaan sedih dan gembira
tapi di dalamnya,
tinggal udara dan bau lembab karat
“kau sudah
dewasa,” katamu suatu ketika
tapi kaleng-kaleng
itu masih di situ
mengambil sebagian
dari masa lalu dan kenanganku
“tak boleh
dibuang. selalu ada hal-hal yang mesti disimpan
supaya kau tak
seluruhnya hilang.”
nyatanya bapak
mati dan kita tak menyimpannya
“bapakmu terlalu
pahit, kurang baik bagi pertumbuhan.”
Tapi bukankah
harus ada yang disimpan, seperti kaleng
atau bapak,
seperti penganan?
Mei, 2000
SAJAK PENJAGA KEBUN
-Hardi
barangkali kaulah
yang harus mengatakan
mengapa kota ini
mendadak jadi sebuah taman
tempat di mana
orang-orang ingin sekali
menanamkan dirinya
sebagai rumput, bunga,
atau pohonan
sementara kulihat
engkau terus menjadi
penjaga kebun yang
buta
tak mampu membaca
arah angin dan
mencium bau cuaca
anak-anakmu terus
tumbuh dan mulai gelisah
mereka ingin kau
menjadi sebatang pohon besar
yang penuh dengan
buah
sedang kau cuma
penjaga kebun yang tentu
saja tak memiliki
akar di pekarangan itu.
lalu, suatu
ketika, mereka akan mencabuti
uban di kepalamu
dan menanamnya di atas
ranjang impian
sambil berkata:
“lihatlah, papa,
aku telah menyelesaikan
pelajaran di
sekolah dan akan membantumu
tumuh lebih baik
sebagi sejarah.”
lalu, di halaman
rumahmu,
akan melebat taman
baru
di mana kau
menjelma jadi pagar atau kupu-kupu
Bandar Lampung,
Desember 2001
FRAGMEN-FRAGMEN DI BERANDA
tak kukirimkan doa
bagi mayat
bunga-bunga yang
terus berguguran
dari
tangkai-tangkai yang terbakar
di beranda rumahmu
cuaca cuma erang,
cuma aung panjang
meninggalkan
sayatan pada jendela yang
tak pernah kubuka
sebab selalu merampasku
ke dalam masa
lalumu
kini aku amat
takjub
pada bangkai kupu,
pada sengat batu
pada tuba, jelaga,
atau serpih duri
yang merumpun di
halaman itu
September 2001
AKU DAN KAWANKU YANG MENANGIS
Sepanjang subuh, kau kunyah-kunyah batu
Tak tahu dimana angin mengucurkan airmatamu
Tak ada laut. Tetapi kudengar suara ombak
Mengumpat-umpat ’nyiur melambai’
Kita terus saja berjalan, entah ke Timur
Atau ke Barat. Tak ada beda, katamu
Kita akan menjadi rambu-rambu, kemanapun pergi
Lantas mengapa kita tak berhenti?
Itulah yang kutangisi, katamu lagi
Lalu kita berpisah di tikungan jalan itu
Mengunyah lagi batu-batu. Sendiri
Kulihat subuh yang abadi dan matahari
Terkubur di bawah bekas-bekas tapak kaki,
Tetapi itu bukan jejakmu juga bukan jejakku
Tak tahu dimana angin mengucurkan airmatamu
Tak ada laut. Tetapi kudengar suara ombak
Mengumpat-umpat ’nyiur melambai’
Kita terus saja berjalan, entah ke Timur
Atau ke Barat. Tak ada beda, katamu
Kita akan menjadi rambu-rambu, kemanapun pergi
Lantas mengapa kita tak berhenti?
Itulah yang kutangisi, katamu lagi
Lalu kita berpisah di tikungan jalan itu
Mengunyah lagi batu-batu. Sendiri
Kulihat subuh yang abadi dan matahari
Terkubur di bawah bekas-bekas tapak kaki,
Tetapi itu bukan jejakmu juga bukan jejakku
PROSA-PROSA YANG HENDAK DILUPAKAN
I
Kita memang pernah berjumpa di kapal itu, kapal yang sampai
sekarang tak kita ingat namanya. Memang ada yang kucatat, tapi itu cuma jadwal berangkat
dan pluit larat yang kita lupakan setelah beberapa saat.
Di palka, bulan tak terlihat. Hanya gelap
mengambang. Gelap yang seperti lubang maha besar darimana kita sempat melihat
getar bintang; sebentar lalu pudar. Dan kita berharap ada semacam kerlip cahaya
serupa pada sesak dada kita. Dada yang apabila malam
menggemakan suara semua rahasia seperti lautan nun di bawah sana. Kadang kita
meminta juga menunggu ada seorang yang berkenan menemani, mendengarkan
suara-suara itu. Kita sebenarnya ingin sekali suara-suara itu segera menjelma
ribuan pisau; mempersembahkan luka dan darah. Dan kita mereguk anggur dari
setip kulit jengat yang tersayat hingga mabuk dan menjadi pengembara paling
jalang.
Genap satu jam kapal menjauh dari dermaga yang
masih menyimpan sisa lambaian dari tangan yang tak pernah tampak wujudnya. Kita
belum juga rampung membereskan ihwal perasaan. Memilah-milah apa yang menyimpan
harapan atu cuma kenangan yang kelewat cengeng dan melumpuhkan. Kedua matamu
masih seperti ungu yang berkilauan; menduga-duga batas pantai dan aku
perlahan-lahan mulai percaya bahwa engkaulah hasrat yang tak pernah terucap
dalam setiap doa juga dosa. Membuatku menjadi pejalan kaki yang fakir belaka.
II
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat datang untuk semua itu.
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat datang untuk semua itu.
Yang pernah menangis akan terisak lagi pada saat
seperti ini, yang telahdiabaikan akan berharap kembali dalam situasi seperti
ini. Ketika sedih dan bahagia tak punya beda, ketika hatimu menjelma prisma
dimana setiap pendosa sepertiku mendapat maaf dan restu.
III
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga membelenggumu.
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga membelenggumu.
Kita memang pernah duduk di sebuah beranda
menyaksikan sore tergesa, berlarian di sebuah lapangan desa menyisakan asam di
ketiak kanak-kanak.
Kau menghidangkn kopi tapi tak berkata-kata,
kedua pipimu lembab seperti bunga-bunga leli di pot tanah liat. Lenganmu tidak
putih dan acap gemetar seperti 9 tahun yang lalu. Tapi itu semua peristiwa yang
terlalu biasa bukan? Aku tak memeluk, apalagi menciummu. Engkau tak
menyandarkan kepala di bahu ringkihku. Semua hal istimewa yang bisa dibayangkan
dalam asmara tak ada pada kita. Bahkan cinta, mungkin memang ada, tapi tak
sempat memberikan apa-apa. Barangkali juga bukan tak sempat melainkan tak
mungkin.
Apabila aku tak memintamu kembali ketika kau
berpamitan pergi itu lantaran kedua matamu telah menangisi sesuatu yang hanya
dijumpai di lubuk paling sunyi.
Maafkanlah aku, karena akhirnya harus menuliskan
semua ini. Jiwaku hanyalah sebuah wilayah gelap dan telah menjadi terang karena
mencintaimu. Aku telah berada di tempat tertinggi dari semua puncak. Di mana
jurang terdalam telah dengan sabar menantiku. Apabila kau mengabaikanku, itulah
saatnya akau akan terjatuh dan menjadi rela kerenamu.
PELUKAN SINGKAT DAN SEBAH DONGENG
Sang, dalam pelukan singkat itu ingin kukaramkan
seluruh nelangsa. Bertahun-tahun kubujuk cinta agar tak menginginkan apa-apa.
Menyembunyikan hasrat dalam debar jantung, sajak, juga doa. Tapi malam itu aku
sudah amat terlunta. Menanggung bisa dari seluruh pesonmu, aku tak kuasa. Jika
kau tak berkenan menyembuhkanku kau harus mengahabisiku agar tumpah darahku
menjadi anggur bagi para pecinta.
Kau rengkuh juga dada lelaki yang canggung dan
gemetar itu. Kau biarkan ia merasakan hangat nafasmu dan di keningmu yang
jernih rindu pun pupus seperti cahaya lampus. Suka cita tanpa kata-kata. Lalu
kitapun jadi tahu bahwa kita tak memiliki apa-apa selain sepasang tangan yang
dingin dan gemetar, saling menggenggam seperti hendak mengukuhkan apa yang tak
terjelaskan dalam kalimat yang terbatas atau yang tak pernah lengkap diucap.
Kita tak pernah tuntas habis dalam cinta. Kita
selalu bersisa dan karena itu pula terluka.
Sang, barangkali esok kita harus memulai lagi,
membujuk cinta agar tak meminta apa-apa menjadi fakir belaka.
Aku sering membayangkan cinta kita serupa bocah
yang lunak jika dirayu, diam di pangkuan, membiarkan nalar menakuti atau
mendongengkan hutan larangan yang penuh marabahaya. Tapi setelah sang nalar
lelah, bocah itu akan berontak dan berlari memburu kekasih. Karena ia memang
tak pernah letih.
Tidak sang, ia bukan seorang bocah, ia seekor
rajawali. Guru dari semua penjelajah. Menghadapi badai ia tak lari, ia malah
membuka dada dan merentangkan sayapnya. Dalam hening membumbung tinggi setia
pada cakrawala, Sang Kekasih.
Sang, di keluasan yang tak ternamai itu rajawali
tak mungkin tanpa langit biru dan langit biru memerlukan sukma sang burung
penjelajah, agar ia tak menjelma jadi semesta hampa.
Bandar Lampung, 11-12 September 2009
0 comments:
Post a Comment