Sunday, January 13, 2013

Puisi Iswadi Pratama


KENANGAN

Bertahun-tahun kau susun kaleng-kaleng karatan itu
di ruang berjelaga dan lantai kelabu
ketika kecil aku sering mengambil penganan
yang kau susun di dalamnya sejak malam

sampai kini, kaleng-kaleng itu masih ada
masih memberikan perasaan sedih dan gembira
tapi di dalamnya, tinggal udara dan bau lembab karat
“kau sudah dewasa,” katamu suatu ketika

tapi kaleng-kaleng itu masih di situ
mengambil sebagian dari masa lalu dan kenanganku
“tak boleh dibuang. selalu ada hal-hal yang mesti disimpan
supaya kau tak seluruhnya hilang.”

nyatanya bapak mati dan kita tak menyimpannya
“bapakmu terlalu pahit, kurang baik bagi pertumbuhan.”
Tapi bukankah harus ada yang disimpan, seperti kaleng
atau bapak, seperti penganan?

Mei, 2000


SAJAK PENJAGA KEBUN
                        -Hardi

barangkali kaulah yang harus mengatakan
mengapa kota ini mendadak jadi sebuah taman
tempat di mana orang-orang ingin sekali
menanamkan dirinya sebagai rumput, bunga,
atau pohonan
sementara kulihat engkau terus menjadi
penjaga kebun yang buta
tak mampu membaca arah angin dan
mencium bau cuaca
anak-anakmu terus tumbuh dan mulai gelisah
mereka ingin kau menjadi sebatang pohon besar
yang penuh dengan buah
sedang kau cuma penjaga kebun yang tentu
saja tak memiliki akar di pekarangan itu.
lalu, suatu ketika, mereka akan mencabuti
uban di kepalamu dan menanamnya di atas
ranjang impian sambil berkata:
“lihatlah, papa, aku telah menyelesaikan
pelajaran di sekolah dan akan membantumu
tumuh lebih baik sebagi sejarah.”
lalu, di halaman rumahmu,
akan melebat taman baru
di mana kau menjelma jadi pagar atau kupu-kupu

Bandar Lampung, Desember 2001


FRAGMEN-FRAGMEN DI BERANDA

tak kukirimkan doa bagi mayat
bunga-bunga yang terus berguguran
dari tangkai-tangkai yang terbakar
di beranda rumahmu

cuaca cuma erang, cuma aung panjang
meninggalkan sayatan pada jendela yang
tak pernah kubuka sebab selalu merampasku
ke dalam masa lalumu

kini aku amat takjub
pada bangkai kupu, pada sengat batu
pada tuba, jelaga, atau serpih duri
yang merumpun di halaman itu

September 2001


AKU DAN KAWANKU YANG MENANGIS

Sepanjang subuh, kau kunyah-kunyah batu
Tak tahu dimana angin mengucurkan airmatamu
Tak ada laut. Tetapi kudengar suara ombak
Mengumpat-umpat ’nyiur melambai’
Kita terus saja berjalan, entah ke Timur
Atau ke Barat. Tak ada beda, katamu
Kita akan menjadi rambu-rambu, kemanapun pergi
Lantas mengapa kita tak berhenti?
Itulah yang kutangisi, katamu lagi
Lalu kita berpisah di tikungan jalan itu
Mengunyah lagi batu-batu. Sendiri
Kulihat subuh yang abadi dan matahari
Terkubur di bawah bekas-bekas tapak kaki,
Tetapi itu bukan jejakmu juga bukan jejakku


PROSA-PROSA YANG HENDAK DILUPAKAN

I
Kita memang pernah berjumpa di kapal itu, kapal yang sampai sekarang tak kita ingat namanya. Memang ada yang kucatat, tapi itu cuma jadwal berangkat dan pluit larat yang kita lupakan setelah beberapa saat.

Di palka, bulan tak terlihat. Hanya gelap mengambang. Gelap yang seperti lubang maha besar darimana kita sempat melihat getar bintang; sebentar lalu pudar. Dan kita berharap ada semacam kerlip cahaya serupa pada sesak dada kita. Dada yang apabila malam menggemakan suara semua rahasia seperti lautan nun di bawah sana. Kadang kita meminta juga menunggu ada seorang yang berkenan menemani, mendengarkan suara-suara itu. Kita sebenarnya ingin sekali suara-suara itu segera menjelma ribuan pisau; mempersembahkan luka dan darah. Dan kita mereguk anggur dari setip kulit jengat yang tersayat hingga mabuk dan menjadi pengembara paling jalang.

Genap satu jam kapal menjauh dari dermaga yang masih menyimpan sisa lambaian dari tangan yang tak pernah tampak wujudnya. Kita belum juga rampung membereskan ihwal perasaan. Memilah-milah apa yang menyimpan harapan atu cuma kenangan yang kelewat cengeng dan melumpuhkan. Kedua matamu masih seperti ungu yang berkilauan; menduga-duga batas pantai dan aku perlahan-lahan mulai percaya bahwa engkaulah hasrat yang tak pernah terucap dalam setiap doa juga dosa. Membuatku menjadi pejalan kaki yang fakir belaka.

II
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat datang untuk semua itu.

Yang pernah menangis akan terisak lagi pada saat seperti ini, yang telahdiabaikan akan berharap kembali dalam situasi seperti ini. Ketika sedih dan bahagia tak punya beda, ketika hatimu menjelma prisma dimana setiap pendosa sepertiku mendapat maaf dan restu.

III
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga membelenggumu.

Kita memang pernah duduk di sebuah beranda menyaksikan sore tergesa, berlarian di sebuah lapangan desa menyisakan asam di ketiak kanak-kanak.

Kau menghidangkn kopi tapi tak berkata-kata, kedua pipimu lembab seperti bunga-bunga leli di pot tanah liat. Lenganmu tidak putih dan acap gemetar seperti 9 tahun yang lalu. Tapi itu semua peristiwa yang terlalu biasa bukan? Aku tak memeluk, apalagi menciummu. Engkau tak menyandarkan kepala di bahu ringkihku. Semua hal istimewa yang bisa dibayangkan dalam asmara tak ada pada kita. Bahkan cinta, mungkin memang ada, tapi tak sempat memberikan apa-apa. Barangkali juga bukan tak sempat melainkan tak mungkin.

Apabila aku tak memintamu kembali ketika kau berpamitan pergi itu lantaran kedua matamu telah menangisi sesuatu yang hanya dijumpai di lubuk paling sunyi.

Maafkanlah aku, karena akhirnya harus menuliskan semua ini. Jiwaku hanyalah sebuah wilayah gelap dan telah menjadi terang karena mencintaimu. Aku telah berada di tempat tertinggi dari semua puncak. Di mana jurang terdalam telah dengan sabar menantiku. Apabila kau mengabaikanku, itulah saatnya akau akan terjatuh dan menjadi rela kerenamu.


PELUKAN SINGKAT DAN SEBAH DONGENG

Sang, dalam pelukan singkat itu ingin kukaramkan seluruh nelangsa. Bertahun-tahun kubujuk cinta agar tak menginginkan apa-apa. Menyembunyikan hasrat dalam debar jantung, sajak, juga doa. Tapi malam itu aku sudah amat terlunta. Menanggung bisa dari seluruh pesonmu, aku tak kuasa. Jika kau tak berkenan menyembuhkanku kau harus mengahabisiku agar tumpah darahku menjadi anggur bagi para pecinta.

Kau rengkuh juga dada lelaki yang canggung dan gemetar itu. Kau biarkan ia merasakan hangat nafasmu dan di keningmu yang jernih rindu pun pupus seperti cahaya lampus. Suka cita tanpa kata-kata. Lalu kitapun jadi tahu bahwa kita tak memiliki apa-apa selain sepasang tangan yang dingin dan gemetar, saling menggenggam seperti hendak mengukuhkan apa yang tak terjelaskan dalam kalimat yang terbatas atau yang tak pernah lengkap diucap.

Kita tak pernah tuntas habis dalam cinta. Kita selalu bersisa dan karena itu pula terluka.
Sang, barangkali esok kita harus memulai lagi, membujuk cinta agar tak meminta apa-apa menjadi fakir belaka.

Aku sering membayangkan cinta kita serupa bocah yang lunak jika dirayu, diam di pangkuan, membiarkan nalar menakuti atau mendongengkan hutan larangan yang penuh marabahaya. Tapi setelah sang nalar lelah, bocah itu akan berontak dan berlari memburu kekasih. Karena ia memang tak pernah letih.

Tidak sang, ia bukan seorang bocah, ia seekor rajawali. Guru dari semua penjelajah. Menghadapi badai ia tak lari, ia malah membuka dada dan merentangkan sayapnya. Dalam hening membumbung tinggi setia pada cakrawala, Sang Kekasih.

Sang, di keluasan yang tak ternamai itu rajawali tak mungkin tanpa langit biru dan langit biru memerlukan sukma sang burung penjelajah, agar ia tak menjelma jadi semesta hampa.

Bandar Lampung, 11-12 September 2009

0 comments:

Post a Comment

Search