Aku I
Bukan hitam sebab sebayang terang
lamat-lamat masih menghampar
di ujung pandang
meski nyaris padam.
Bukan putih sebab secercah baying
seperti merintangi terang
mengusik hamparan
mengaburkan sudut kiri atau kanan
sudut barat dan selatan.
Bukan hijau
yang kadang membuatmu silau.
Bukan merah
yang kadang membuatmu terbakar.
Bukan kuning
yang kadang membuatmu kuyu.
Bukan biru
yang kadang membuatmu menangis.
Aku, abu-abu:
Hamparan antara.
Lapangan mungkin.
Dataran barangkali.
Bentangan entah.
Bersamaku, kau tak akan jadi buta
karena kelam
atau cahaya.
Bersamaku, kau masih bisa melangkah
meski meraba.
Bersamaku, kau akan selalu siaga
sebab kau harus terus bertanya:
bentangan yang terhampar
apa memang menuju barat,
atau utara?
2008
Aku II
Empat ribu—para pelupa mengatakan tiga ribu—warsa sebelum Sang Penebus berupa,
Aku menyata, merasakan butala, menjadi saksi bentala, purba, sementara, fana:
Leluhurku lempengan lempung, rata, timbul, cekung. Tengara rasa, cena peristiwa, kata,
kosakata.
Moyangku ceperan batu, berlekuk, berceruk karena jarum. Menengarai sabda dewa, titah
Raja, tata karma, janji kerja, silsilah kerluarga.
Poyangku lembaran logam. Tanda bintang, lambing dewa; gambar kaki, tanda berdiri,
pergi, berlari.
Dulu, sebelum semuanya terkubur debu, waktu, Sumeria, Babilonia, Mesopotamia.
Lalu waktu, memaksaku malih rupa:
pada daur kelima, sebelum Sang Penebus kasat-mata, ketika Mesir, Yunani, Roma,
menjelma trisula semesta, lempeng lampung, ceper batu, lembar logam, tak lagi meraja.
Dan aku pun meremaja: lembar-lembar lontar, jadi tenar, daun, batang, akar siwalan,
ditumbuk, diaduk, jadi gulungan-gulungan buram, kumal. Lalu di tubuhku, tergelar,
berjajar, belukar abjad, menjelma kitab: Silsilah Ramses, Serat Laut Mati, Kitab Maut.
Tapi kala, ternyata tak setia, waktu, menyudahi wujudku: pada daur keempat, sebelum
Sang Penebus merupa, lembar-lembar lontar, akar, batang, daun siwalan, tak lagi
terpercaya, dan perlahan mermudar, menghilang di dasar jurang lupa.
Dan kembali masa, memaksaku malih asma: velum, karena aku adalah jangat domba.
Dan aku pun mendewasa: karena kulit lembu, kijang, aspi, kerbau, juga rusa, kini aku
lebih digdaya. Semakin tua, aku tak lagi cemas pada cuaca.
Dan embun subuh tak lagi, membuatku rapuh.
Lalu para pemuja Buddha, menjadikanku paripurna:
pada kurun kedua, setelah Sang Penebus menampakkan parasnya, di Tirai Bambu,
lembar, carik, lempeng bambu dan kayu, membuatku ternama.
Dan pada duar kedelapan, kesembilan, setelah menyetubuhi rami, buluh, alang-alang, aku
pun mengembara, menjelajahi negeri-negeri berempat musim, dipuja kaum berkulit tak
berwarna:
Jingangjing, bentuk yang kemudan mereka jinjing
Tipitaka, kini aku tambak baka.
Karena aku: kini aku tahu apakah Adam terlempar dari Sebuah Taman, atau cuma
Jelmaan seekor ikan.
Karena aku: kau tahu, mana masa lalu, mana bualan leluhurmu.
2009
Bidak
Menjelang pertempuran itu selesai, di salah satu sudut gelanggang, bidak itu tersentak:
Gelegar suara “Skak!” yang mendentum membahana di angkasa menyadarkannya bahwa
Ternyata ia bukan siapa-siapa. Maka ia pun menurut saja ketika sesosok tangan
mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah kotak kayu yang ada di sudut
ruangan itu. Di dalam kotak itu, setelah lewat tengah malam, dengan sekuat tenaga ia
berusaha melupakan semua yang baru saja dialaminya: ia berusaha melupakan
pertempuran itu, ia berusaha melupakan musuh-musuhnya, ia berusaha melupakan
teman-teman seperjuangannya.
Keesokan harinya, ketika ia terbangun di dalam kotak kayu itu, ia telah sepenuhnya lupa
siapa dirinya.
2009
Aku III
Aku lahir dari cemas mereka pada cuaca
dulu, berpuluh abad yang lalu.
Aku dilahirkan
hingga fajar, siang, senja, dan malam,
tak lagi menggentarkan
Aku dilahirkan
hingga mereka tak lagi mengukur baying-bayang
Samsu atau Badar.
Aku dilahirkan
agar mereka bisa terus mengagumi paras Badar,
bundaku.
Aku dilahirkan
agar mereka tak perlu lagi mengawasi—atau diawasi—Samsu,
ramandaku.
Aku dilahirkan
Agar mereka bisa menata kala,
saudaraku.
Aku, kembaran sang waktu.
***
Babilonia! Babilonia! Babilonia!
Betapa jauh kini aku telah meninggalkannya.
Aku ingat
saat kanak, aku tak bernama.
Saat remaja, mereka menyebutku Julian.
Kini, ketika sosokku semakin sempurna, Gregorian asmaku.
Seperti Phoenix, aku baka:
setelah 12 purnama,
setelah bumi menari, mengitari matahari,
setelah 365 hari,
dari abuku
aku terlahir kembali.
Lalu kembali, dalam tubuhku:
angka-angka berjajar,
berjalan,
lalu pelan, pelan, kusuguhkan gerhana bulan
angka-angka mengapung,
melayang,
lalu pelan, pelan, kuledakkan barisan gunung.
angka-angka telentang,
berputar
berpusar
lalu perlahan kuhamparkan taufan
angka-angka mekar
membesar
memudar
lalu pelan-pelan, kukabarkan kematian.
Dalam jasadku:
Angka-angka berkembang
membesar
lalu pelan-pelan terbang.
Siapa yang bisa menghentikan?
2008-2009
Zaim Rofiqi lahir di Jepara, Jawa Tengah. Ia menulis puisi, esai, cerpen, dan menerjemahkan buku. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Lagu Cinta Para Pendosa (2009).
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009