Wednesday, August 16, 2017

Puisi-puisi Zaim Rofiqi

Aku I

Bukan hitam sebab sebayang terang
lamat-lamat masih menghampar
di ujung pandang
meski nyaris padam.

Bukan putih sebab secercah baying
seperti merintangi terang
mengusik hamparan
mengaburkan sudut kiri atau kanan
sudut barat dan selatan.

Bukan hijau
yang kadang membuatmu silau.
Bukan merah
yang kadang membuatmu terbakar.
Bukan kuning
yang kadang membuatmu kuyu.
Bukan biru
yang kadang membuatmu menangis.

Aku, abu-abu:
Hamparan antara.
Lapangan mungkin.
Dataran barangkali.
Bentangan entah.

Bersamaku, kau tak akan jadi buta
karena kelam
atau cahaya.

Bersamaku, kau masih bisa melangkah
meski meraba.

Bersamaku, kau akan selalu siaga
sebab kau harus terus bertanya:
bentangan yang terhampar
apa memang menuju barat,
atau utara?

2008

Aku II

Empat ribu—para pelupa mengatakan tiga ribu—warsa sebelum Sang Penebus berupa,
Aku menyata, merasakan butala, menjadi saksi bentala, purba, sementara, fana:

Leluhurku lempengan lempung, rata, timbul, cekung. Tengara rasa, cena peristiwa, kata,
kosakata.

Moyangku ceperan batu, berlekuk, berceruk karena jarum. Menengarai sabda dewa, titah
Raja, tata karma, janji kerja, silsilah kerluarga.

Poyangku lembaran logam. Tanda bintang, lambing dewa; gambar kaki, tanda berdiri,
pergi, berlari.

Dulu, sebelum semuanya terkubur debu, waktu, Sumeria, Babilonia, Mesopotamia.

Lalu waktu, memaksaku malih rupa:
pada daur kelima, sebelum Sang Penebus kasat-mata, ketika Mesir, Yunani, Roma,
menjelma trisula semesta, lempeng lampung, ceper batu, lembar logam, tak lagi meraja.

Dan aku pun meremaja: lembar-lembar lontar, jadi tenar, daun, batang, akar siwalan,
ditumbuk, diaduk, jadi gulungan-gulungan buram, kumal. Lalu di tubuhku, tergelar,
berjajar, belukar abjad, menjelma kitab: Silsilah Ramses, Serat Laut Mati, Kitab Maut.

Tapi kala, ternyata tak setia, waktu, menyudahi wujudku: pada daur keempat, sebelum
Sang Penebus merupa, lembar-lembar lontar, akar, batang, daun siwalan, tak lagi
terpercaya, dan perlahan mermudar, menghilang di dasar jurang lupa.

Dan kembali masa, memaksaku malih asma: velum, karena aku adalah jangat domba.

Dan aku pun mendewasa: karena kulit lembu, kijang, aspi, kerbau, juga rusa, kini aku
lebih digdaya. Semakin tua, aku tak lagi cemas pada cuaca.

Dan embun subuh tak lagi, membuatku rapuh.

Lalu para pemuja Buddha, menjadikanku paripurna:
pada kurun kedua, setelah Sang Penebus menampakkan parasnya, di Tirai Bambu,
lembar, carik, lempeng bambu dan kayu, membuatku ternama.

Dan pada duar kedelapan, kesembilan, setelah menyetubuhi rami, buluh, alang-alang, aku
pun mengembara, menjelajahi negeri-negeri berempat musim, dipuja kaum berkulit tak
berwarna:

Jingangjing, bentuk yang kemudan mereka jinjing
Tipitaka, kini aku tambak baka.

Karena aku: kini aku tahu apakah Adam terlempar dari Sebuah Taman, atau cuma
Jelmaan seekor ikan.

Karena aku: kau tahu, mana masa lalu, mana bualan leluhurmu.

2009

Bidak

Menjelang pertempuran itu selesai, di salah satu sudut gelanggang, bidak itu tersentak:
Gelegar suara “Skak!” yang mendentum membahana di angkasa menyadarkannya bahwa
Ternyata ia bukan siapa-siapa. Maka ia pun menurut saja ketika sesosok tangan
mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah kotak kayu yang ada di sudut
ruangan itu. Di dalam kotak itu, setelah lewat tengah malam, dengan sekuat tenaga ia
berusaha melupakan semua yang baru saja dialaminya: ia berusaha melupakan
pertempuran itu, ia berusaha melupakan musuh-musuhnya, ia berusaha melupakan
teman-teman seperjuangannya.

Keesokan harinya, ketika ia terbangun di dalam kotak kayu itu, ia telah sepenuhnya lupa
siapa dirinya.

2009

Aku III

Aku lahir dari cemas mereka pada cuaca
dulu, berpuluh abad yang lalu.

Aku dilahirkan
hingga fajar, siang, senja, dan malam,
tak lagi menggentarkan

Aku dilahirkan
hingga mereka tak lagi mengukur baying-bayang
Samsu atau Badar.

Aku dilahirkan
agar mereka bisa terus mengagumi paras Badar,
bundaku.

Aku dilahirkan
agar mereka tak perlu lagi mengawasi—atau diawasi—Samsu,
ramandaku.

Aku dilahirkan
Agar mereka bisa menata kala,
saudaraku.

Aku, kembaran sang waktu.

***

Babilonia! Babilonia! Babilonia!
Betapa jauh kini aku telah meninggalkannya.
Aku ingat
saat kanak, aku tak bernama.
Saat remaja, mereka menyebutku Julian.
Kini, ketika sosokku semakin sempurna, Gregorian asmaku.

Seperti Phoenix, aku baka:
setelah 12 purnama,
setelah bumi menari, mengitari matahari,
setelah 365 hari,
dari abuku
aku terlahir kembali.

Lalu kembali, dalam tubuhku:
angka-angka berjajar,
berjalan,
lalu pelan, pelan, kusuguhkan gerhana bulan

angka-angka mengapung,
melayang,
lalu pelan, pelan, kuledakkan barisan gunung.

angka-angka telentang,
berputar
berpusar
lalu perlahan kuhamparkan taufan

angka-angka mekar
membesar
memudar
lalu pelan-pelan, kukabarkan kematian.

Dalam jasadku:
Angka-angka berkembang
membesar
lalu pelan-pelan terbang.
Siapa yang bisa menghentikan?

2008-2009

Zaim Rofiqi lahir di Jepara, Jawa Tengah. Ia menulis puisi, esai, cerpen, dan menerjemahkan buku. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Lagu Cinta Para Pendosa (2009). 

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009

Monday, January 21, 2013

Puisi Chairil Anwar


NISAN
     untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan baru kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan,keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari 1943


TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api itu
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

Februari 1943


AKU*

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa lari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

*Versi Deru Campur Debu
 
PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA*
            kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

*Versi Deru Campur Debu

1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.

1943


ISA
            Kepada nasrani sejati

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampat tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini sengsara

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

12 November 1943


DOA
     kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerlip di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara ke negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

 
SAJAK PUTIH*
            buat tunanganku Mirat

bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda

sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku

hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati darang tidak membelah…

Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
            alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam
            tubuhku…

18 januari 1944

*Versi Surat-Surat 1943-1983
 
CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau….

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

1946


SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
terdekap.

1946
 

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan olé-olé buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


YANG TERHEMPASS DAN YANG PUTUS*

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuinginkan,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru
            datang

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau
            datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
            berlalu beku

1949

*Versi Naskah Asli


DERAI-DERAI CEMARA*

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan yang ditingkap merapuh
dipikul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

*Versi Naskah Asli

Sunday, January 13, 2013

Puisi Iswadi Pratama


KENANGAN

Bertahun-tahun kau susun kaleng-kaleng karatan itu
di ruang berjelaga dan lantai kelabu
ketika kecil aku sering mengambil penganan
yang kau susun di dalamnya sejak malam

sampai kini, kaleng-kaleng itu masih ada
masih memberikan perasaan sedih dan gembira
tapi di dalamnya, tinggal udara dan bau lembab karat
“kau sudah dewasa,” katamu suatu ketika

tapi kaleng-kaleng itu masih di situ
mengambil sebagian dari masa lalu dan kenanganku
“tak boleh dibuang. selalu ada hal-hal yang mesti disimpan
supaya kau tak seluruhnya hilang.”

nyatanya bapak mati dan kita tak menyimpannya
“bapakmu terlalu pahit, kurang baik bagi pertumbuhan.”
Tapi bukankah harus ada yang disimpan, seperti kaleng
atau bapak, seperti penganan?

Mei, 2000


SAJAK PENJAGA KEBUN
                        -Hardi

barangkali kaulah yang harus mengatakan
mengapa kota ini mendadak jadi sebuah taman
tempat di mana orang-orang ingin sekali
menanamkan dirinya sebagai rumput, bunga,
atau pohonan
sementara kulihat engkau terus menjadi
penjaga kebun yang buta
tak mampu membaca arah angin dan
mencium bau cuaca
anak-anakmu terus tumbuh dan mulai gelisah
mereka ingin kau menjadi sebatang pohon besar
yang penuh dengan buah
sedang kau cuma penjaga kebun yang tentu
saja tak memiliki akar di pekarangan itu.
lalu, suatu ketika, mereka akan mencabuti
uban di kepalamu dan menanamnya di atas
ranjang impian sambil berkata:
“lihatlah, papa, aku telah menyelesaikan
pelajaran di sekolah dan akan membantumu
tumuh lebih baik sebagi sejarah.”
lalu, di halaman rumahmu,
akan melebat taman baru
di mana kau menjelma jadi pagar atau kupu-kupu

Bandar Lampung, Desember 2001


FRAGMEN-FRAGMEN DI BERANDA

tak kukirimkan doa bagi mayat
bunga-bunga yang terus berguguran
dari tangkai-tangkai yang terbakar
di beranda rumahmu

cuaca cuma erang, cuma aung panjang
meninggalkan sayatan pada jendela yang
tak pernah kubuka sebab selalu merampasku
ke dalam masa lalumu

kini aku amat takjub
pada bangkai kupu, pada sengat batu
pada tuba, jelaga, atau serpih duri
yang merumpun di halaman itu

September 2001


AKU DAN KAWANKU YANG MENANGIS

Sepanjang subuh, kau kunyah-kunyah batu
Tak tahu dimana angin mengucurkan airmatamu
Tak ada laut. Tetapi kudengar suara ombak
Mengumpat-umpat ’nyiur melambai’
Kita terus saja berjalan, entah ke Timur
Atau ke Barat. Tak ada beda, katamu
Kita akan menjadi rambu-rambu, kemanapun pergi
Lantas mengapa kita tak berhenti?
Itulah yang kutangisi, katamu lagi
Lalu kita berpisah di tikungan jalan itu
Mengunyah lagi batu-batu. Sendiri
Kulihat subuh yang abadi dan matahari
Terkubur di bawah bekas-bekas tapak kaki,
Tetapi itu bukan jejakmu juga bukan jejakku


PROSA-PROSA YANG HENDAK DILUPAKAN

I
Kita memang pernah berjumpa di kapal itu, kapal yang sampai sekarang tak kita ingat namanya. Memang ada yang kucatat, tapi itu cuma jadwal berangkat dan pluit larat yang kita lupakan setelah beberapa saat.

Di palka, bulan tak terlihat. Hanya gelap mengambang. Gelap yang seperti lubang maha besar darimana kita sempat melihat getar bintang; sebentar lalu pudar. Dan kita berharap ada semacam kerlip cahaya serupa pada sesak dada kita. Dada yang apabila malam menggemakan suara semua rahasia seperti lautan nun di bawah sana. Kadang kita meminta juga menunggu ada seorang yang berkenan menemani, mendengarkan suara-suara itu. Kita sebenarnya ingin sekali suara-suara itu segera menjelma ribuan pisau; mempersembahkan luka dan darah. Dan kita mereguk anggur dari setip kulit jengat yang tersayat hingga mabuk dan menjadi pengembara paling jalang.

Genap satu jam kapal menjauh dari dermaga yang masih menyimpan sisa lambaian dari tangan yang tak pernah tampak wujudnya. Kita belum juga rampung membereskan ihwal perasaan. Memilah-milah apa yang menyimpan harapan atu cuma kenangan yang kelewat cengeng dan melumpuhkan. Kedua matamu masih seperti ungu yang berkilauan; menduga-duga batas pantai dan aku perlahan-lahan mulai percaya bahwa engkaulah hasrat yang tak pernah terucap dalam setiap doa juga dosa. Membuatku menjadi pejalan kaki yang fakir belaka.

II
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat datang untuk semua itu.

Yang pernah menangis akan terisak lagi pada saat seperti ini, yang telahdiabaikan akan berharap kembali dalam situasi seperti ini. Ketika sedih dan bahagia tak punya beda, ketika hatimu menjelma prisma dimana setiap pendosa sepertiku mendapat maaf dan restu.

III
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga membelenggumu.

Kita memang pernah duduk di sebuah beranda menyaksikan sore tergesa, berlarian di sebuah lapangan desa menyisakan asam di ketiak kanak-kanak.

Kau menghidangkn kopi tapi tak berkata-kata, kedua pipimu lembab seperti bunga-bunga leli di pot tanah liat. Lenganmu tidak putih dan acap gemetar seperti 9 tahun yang lalu. Tapi itu semua peristiwa yang terlalu biasa bukan? Aku tak memeluk, apalagi menciummu. Engkau tak menyandarkan kepala di bahu ringkihku. Semua hal istimewa yang bisa dibayangkan dalam asmara tak ada pada kita. Bahkan cinta, mungkin memang ada, tapi tak sempat memberikan apa-apa. Barangkali juga bukan tak sempat melainkan tak mungkin.

Apabila aku tak memintamu kembali ketika kau berpamitan pergi itu lantaran kedua matamu telah menangisi sesuatu yang hanya dijumpai di lubuk paling sunyi.

Maafkanlah aku, karena akhirnya harus menuliskan semua ini. Jiwaku hanyalah sebuah wilayah gelap dan telah menjadi terang karena mencintaimu. Aku telah berada di tempat tertinggi dari semua puncak. Di mana jurang terdalam telah dengan sabar menantiku. Apabila kau mengabaikanku, itulah saatnya akau akan terjatuh dan menjadi rela kerenamu.


PELUKAN SINGKAT DAN SEBAH DONGENG

Sang, dalam pelukan singkat itu ingin kukaramkan seluruh nelangsa. Bertahun-tahun kubujuk cinta agar tak menginginkan apa-apa. Menyembunyikan hasrat dalam debar jantung, sajak, juga doa. Tapi malam itu aku sudah amat terlunta. Menanggung bisa dari seluruh pesonmu, aku tak kuasa. Jika kau tak berkenan menyembuhkanku kau harus mengahabisiku agar tumpah darahku menjadi anggur bagi para pecinta.

Kau rengkuh juga dada lelaki yang canggung dan gemetar itu. Kau biarkan ia merasakan hangat nafasmu dan di keningmu yang jernih rindu pun pupus seperti cahaya lampus. Suka cita tanpa kata-kata. Lalu kitapun jadi tahu bahwa kita tak memiliki apa-apa selain sepasang tangan yang dingin dan gemetar, saling menggenggam seperti hendak mengukuhkan apa yang tak terjelaskan dalam kalimat yang terbatas atau yang tak pernah lengkap diucap.

Kita tak pernah tuntas habis dalam cinta. Kita selalu bersisa dan karena itu pula terluka.
Sang, barangkali esok kita harus memulai lagi, membujuk cinta agar tak meminta apa-apa menjadi fakir belaka.

Aku sering membayangkan cinta kita serupa bocah yang lunak jika dirayu, diam di pangkuan, membiarkan nalar menakuti atau mendongengkan hutan larangan yang penuh marabahaya. Tapi setelah sang nalar lelah, bocah itu akan berontak dan berlari memburu kekasih. Karena ia memang tak pernah letih.

Tidak sang, ia bukan seorang bocah, ia seekor rajawali. Guru dari semua penjelajah. Menghadapi badai ia tak lari, ia malah membuka dada dan merentangkan sayapnya. Dalam hening membumbung tinggi setia pada cakrawala, Sang Kekasih.

Sang, di keluasan yang tak ternamai itu rajawali tak mungkin tanpa langit biru dan langit biru memerlukan sukma sang burung penjelajah, agar ia tak menjelma jadi semesta hampa.

Bandar Lampung, 11-12 September 2009

Search